[DRAMA] A Sin, Deus And Me [True Story Of My Life]

Ada yg tau makna Sin,Deus And Me?

  • Tau

    Votes: 0 0.0%
  • Tidak

    Votes: 0 0.0%
  • Ragu ragu

    Votes: 0 0.0%

  • Total voters
    0

Anggelaw.Real

Bayi GoCrot
Terimakasih buat momod dan jajaran yang membuat wadah cerbung seperti ini
:kyaa::kyaa::kyaa:

Tidak BOLEH DI COPY/DI JUAL DI WEBSITE ATAU APAPUN. SAMPE KETAHUAN? DOA GUE MENEMBUS LANGIT.

Karakter berdasarkan karakter asli.
Penulisan nama berdasarkan samaran.
Lokasi dan waktu berdasarkan adegan asli.
Maaf kalo berantakan by hp. Laptop lagi ngambek.


Tenang aja gue ga galau kok. Ga sedih juga. Gue butuh ice cream 😛. Kisah ini gue tuangkan disini sebagai bentuk dedikasi kepada para laki dan perempuan dalam memilih pasangan. Kok gitu? Setelah membaca pasti tau apa maksudnya hehe.


Sinopsis
................

Sejak lahir, Anggelaw tidak pernah mengetahui wajah ibunya. Dia berlari ke ayahnya namun tidak mendapatkan apa pun. Merasakan kasih sayang yang seharusnya datang dari kedua orangtuanya, Ratu dan Raja.
Aku butuh Ibu. Aku butuh ayah. Anggelaw sering kali merasakan perasaan yang sulit diungkapkan, perasaan yang menganggap dirinya sebagai beban yang tidak pernah diminta untuk dilahirkan. Dalam sepinya malam ia berteriak dalam hati, bertanya mengapa ia ada di dunia yang penuh dengan kehampaan ini. Tanpa kasih ibu yang memberi kehangatan, tanpa ayah yang memberi perhatian. Tidak ada pelukan hangat, tidak ada kebanggaan di matanya.

Seolah ia hanyalah kesalahan yang harus ditanggung seumur hidup. Anggelaw merasa seperti seorang bayangan yang hilang. Setiap malam, ia berbicara kepada dirinya sendiri. Kata-kata favorit yang bergema dalam hatinya, namun tak ada yang memberi jawab. Ia hanya berjalan dalam dunia yang asing dan gelap, terjebak dalam perasaan kosong yang terus menghantuinya.

Namun, saat Anggelaw beranjak dewasa, ia mulai mencari jawaban di luar . Mencoba menemukan cinta dan kasih sayang yang selama ini ia impikan. Dalam perjalanannya, ia bertemu dengan berbagai orang meskipun hatinya tetap terasa hampa. Di tengah pencariannya, Anggelaw mulai menyadari bahwa cinta sejati tidak selalu datang dari orang yang di harapkan.

Namun di tengah perjalanan itu, muncul seorang pria yang mungkin mencintainya dengan tulus atau justru bagian dari takdir pahit yang menunggunya.

Mampukah Anggelaw menemukan jawaban atas siapa dirinya atau akankah ia tetap menjadi bayang-bayang di balik diamnya tembok?


Prolog
Chapter 1: Diamnya Tembok


Anggelaw tidak sepenuhnya sendirian. Ia dibesarkan oleh Wanda, wali orang tua yang penuh perhatian namun penuh alasan. Begitu protektif, sering berlebihan. Setiap kesalahan kecil diperbesar, setiap keinginan ditahan dengan dalih melindunginya. Drama dan permainan perasaan menjadi bagian dari kesehariannya, membuatnya semakin sulit memahami siapa dirinya dan mengapa berada disini.

Anggelaw merasa terasing dan tak berarti di dunia keluarga nya. Meskipun Wanda merawatnya,ia tetap merasakan kehampaan yang mendalam. Kesehariannya di isi dengan belajar dan berusaha agar dapat meraih mimpi yang ia impikan meski tantangan menghampirinya.
(Pagi hari di rumah kecil sederhana. Wanda duduk di kursi kayu dekat meja makan, menyeruput kopi hitam panas. Anggelaw berjongkok di depan pintu, mengikat tali sepatunya. Cahaya matahari masuk lewat jendela, membawa kehangatan yang terasa kontras dengan suasana di dalam rumah.)

Wanda (mendengus, meletakkan cangkir kopi di meja): Huh, tiap pagi lihat kamu sibuk sendiri. Untung aku masih ada buat ngurusin kamu. Sudah bagus kamu saya rawat dari bayi. Kalau bukan saya, entah kamu sekarang jadi apa.

Anggelaw (menghela napas pelan, tetap fokus pada sepatunya): …

Wanda (menyeruput kopi lagi, lalu mengangkat alis): Lihat tuh, udah jam berapa sekarang ?Sekolah di swasta, naik angkot tiap hari, semua itu pakai duit saya. Tinggal berangkat aja lama banget.

Anggelaw (berdiri, merapikan rok sekolahnya, lalu menatap Wanda dengan ekspresi datar): Siapa juga yang minta dilahirkan, Siapa yang minta diurus?

Wanda (tertegun sesaat, lalu mendecak kesal): Hebat banget ngomongnya! Jadi kamu nyalahin saya sekarang?

Anggelaw (menyandarkan tas ke bahu, berbicara pelan tapi tegas) "Bukan nyalahin. Cuma bilang yang sebenarnya. Aku nggak pernah minta semua ini. Kalau bisa pilih mending tinggal di jalanan. Aku pergi dulu".

(Keheningan menggantung di antara mereka. Wanda menatap Anggelaw dengan tatapan sulit ditebak—antara kesal dan mungkin sedikit tersentuh. Tapi dia tidak berkata apa-apa lagi. Anggelaw menarik napas, lalu melangkah keluar. Wanda hanya bisa memandangi punggungnya, lalu kembali menyeruput kopi yang mulai mendingin.)

Dari bayi aku rawat. Aku kasih makan, aku urus sekolahmu! Tapi apa? Tinggal sekolah aja bangun kesiangan terus!"
(Anggelaw berdiri di pinggir jalan, menunggu angkot yang lewat. Wanda masih terus mengoceh dari depan rumah, seakan belum puas dengan omelannya tadi.)

Wanda: "Lihat tuh berapa lama lagi masuk angkot. Naik angkot aja pilih pilih!"

(Anggelaw tetap diam. Matanya fokus ke jalan, menanti angkot. Ia tidak peduli lagi dengan suara Wanda yang terus-menerus mengungkit jasa mengasuhnya.)

Wanda: "Kamu tuh harusnya bersyukur punya aku! Kalau bukan aku, kamu entah di mana sekarang! Eh, malah diem aja! Dengar nggak sih aku ngomong?"

(Anggelaw menarik napas panjang, mencoba menahan rasa kesal. Ia tahu kalau menjawab hanya akan memperpanjang ocehan Wanda. Sebuah angkot akhirnya datang, ia segera melambaikan tangan dan naik tanpa berkata apa-apa lagi.)

Supir Angkot: "Yuk naik langsung jalan. Mau ke mana neng?"

Anggelaw: (Pelan) "Sekolah Harapan Bangsa Nusa Bang"

(Ia duduk di pojok angkot, menatap jendela. Wanda masih berdiri di depan rumah, menatap kepergiannya dengan wajah penuh drama. Anggelaw tidak menoleh. Ia merasa lebih tenang di dalam angkot yang penuh orang asing daripada di rumah yang penuh beban.)

(Adegan: Pagi hari, gerbang sekolah swasta. Deretan mobil mewah berhenti satu per satu, menurunkan murid-murid dengan seragam rapi. Dari kejauhan, sebuah angkot berhenti. Anggelaw turun, mengenakan seragam yang sedikit kebesaran dan menaikkan kacamata yang terjatuh di tengah hidung mancungnya dengan jari telunjuknya.

---
Murid 1: (berbisik pada temannya sambil tertawa kecil) “Lihat deh, si Anggelaw lagi.”

Murid 2: (memutar mata, berbisik) “Kenapa dia masih sekolah di sini sih? Gak cocok banget.”

Murid 3: (mencibir) “Tasnya gede banget. Kayak mau pindahan.”

(Anggelaw menarik napas dalam, berusaha mengabaikan bisikan-bisikan di sekitarnya. Ia melangkah masuk ke gerbang, tapi tatapan mata murid-murid lain membuatnya semakin gugup. Beberapa murid yang sedang berbicara langsung terdiam dan hanya memandanginya dengan ekspresi mencemooh.)

Satpam Sekolah: (melihat Anggelaw, menegur dengan nada lembut tapi tegas) “Anggelaw, pin kerahmu mana?”

Anggelaw: (menunduk, menghindari kontak mata) “Lupa, Pak...”

Satpam Sekolah: (menghela napas) “Besok jangan lupa, ya. Aturan tetap aturan.”

(Anggelaw mengangguk pelan dan segera melangkah masuk ke dalam koridor. Suara tawa samar terdengar di belakangnya. Ia berusaha fokus ke lantai, berharap bisa segera sampai ke kelas tanpa insiden.)

Murid 4: (sengaja membenturkan bahunya ke Anggelaw saat lewat, berbisik sinis) “Dasar culun.”

(Anggelaw menggigit bibir, menahan emosi. Sekolah ini tidak pernah berubah—dan mungkin tidak akan pernah. Dengan cepat, ia mempercepat langkahnya menuju kelas, berusaha menghindari lebih banyak tatapan dan bisikan)

Koridor sekolah swasta yang megah dan bersih. Dinding berwarna putih gading dihiasi berbagai piala dan foto siswa berprestasi. Murid-murid dengan seragam rapi berjalan sambil berbincang, beberapa tertawa kecil. Di antara mereka, Anggelaw berjalan sendirian, berusaha tak memperhatikan tatapan yang mengarah padanya.)
---
Murid 5: (berbisik sambil melirik ke arah Anggelaw) “Itu dia… Katanya dia nggak punya orang tua, lho.”

Murid 6: (menaikkan alis, berbicara pelan tapi cukup keras untuk didengar) “Serius? Pantas aja beda banget dari kita…”

Murid 7: (tertawa sinis) “Duh, kok bisa sih sekolah di sini? Nggak nyambung banget.”

(Anggelaw mendengar semuanya, tapi ia tetap berjalan lurus. Tangan mengepal di dalam saku rok seragamnya. Napasnya berat, tapi ia berusaha tetap tenang.)

Murid 8: (berbisik dengan nada dibuat-buat prihatin) “Kasihan ya. Pasti nggak ada yang jemput atau antar dia pakai mobil mewah.”

Murid 9: (tertawa kecil, menimpali) “Ya iyalah. Lagian, lihat tuh, tasnya kayak penuh sama barang bekas. Duh, nggak banget!”

(Anggelaw berhenti sejenak di depan pintu kelasnya. Ia bisa merasakan tatapan mereka menusuk punggungnya. Ingin rasanya ia berbalik dan membalas, tapi untuk apa? Mereka tak akan mengerti.)

Murid 10: (menyeringai, sengaja berkata lebih keras) “Orang seperti dia sih nggak bakal tahan lama di sekolah ini. Tinggal tunggu waktu aja.”

(Anggelaw menarik napas panjang, menguatkan diri. Tanpa menanggapi, ia membuka pintu kelas dan melangkah masuk. Suara bisikan masih terdengar samar di belakangnya, tapi ia memilih mengabaikannya. Ia sudah terbiasa menjadi bayangan di antara mereka.

Guru Piket: (menghentikan Anggelaw di depan pintu kelas, mengamati seragamnya yang tidak lengkap) “Anggelaw, mana pin kerahmu?”

Anggelaw: (menunduk, menghindari tatapan tajam sang guru) “Lupa, Bu…”

Guru Piket: (menghela napas, mengambil buku laporan tata tertib, lalu menuliskan nama Anggelaw di dalamnya) “Kamu sudah tahu peraturan sekolah, kan? Ini sudah kesekian kalinya.”

Anggelaw: (hanya mengangguk, tidak membela diri)

Guru Piket: (menutup buku laporan dengan bunyi ‘klik’ yang tajam, lalu berkata dengan nada dingin) “Saya catat. Jangan sampai diulangi lagi.”

(Anggelaw mengangguk lagi, lalu melangkah masuk ke dalam kelas. Ia berharap setidaknya ada satu pasang mata yang menyapanya, tapi harapannya sia-sia.)

---
(Di dalam kelas, suasana begitu ramai. Anak-anak 9A sibuk berbicara tentang liburan mereka, memamerkan pengalaman mewah mereka. Suara tawa memenuhi udara, seolah dunia mereka begitu sempurna.)

Chery : (tertawa keras) “Kamu harus lihat vila keluarga aku di Bali. Private pool-nya itu, loh. Benar-benar surga!”

Jesika : (menghela napas dramatis) “Duh, aku tuh pengen banget ke Eropa pas summer nanti. Tapi ayahku bilang harus nunggu liburan sekolah. Gemes banget!”

Caca: (mengeluarkan ponselnya, menunjukkan jam tangan baru yang berkilau mahal) “Guys, lihat dong! Ini limited edition, cuma ada beberapa di dunia.”

(Semua orang tertawa dan mengagumi barang-barang mahal mereka. Tak ada satu pun yang memperhatikan Anggelaw yang berjalan diam-diam menuju bangkunya di pojok kelas.)

(Ia duduk, membuka bukunya, lalu menatap ke luar jendela. Dunia mereka terasa begitu jauh. Seakan ada dinding tak kasat mata yang memisahkannya dari mereka. Tapi, apakah itu benar-benar dinding atau memang ia yang tak pernah punya tempat di sini?

Anggelaw menarik nafas dalam dalam lalu memberanikan diri untuk mencoba berbicara.)

Anggelaw: (suara pelan) Hai, tadi PR matematika susah nggak?

(Siswa yang diajak bicara hanya melirik sekilas lalu kembali berbicara dengan teman-temannya, mengabaikan Anggelaw sepenuhnya. Ia terdiam, merasa tidak dianggap.)

(Chery, Jessika, dan Caca yang duduk di barisan depan memperhatikan Anggelaw dan tersenyum sinis.)

Chery: (berbisik ke Caca) Dia masih aja berusaha ngomong?

Jessika: (tertawa kecil) Kayaknya dia nggak sadar,kalau ga ada yang tertarik temenan sama dia.

(Anggelaw menunduk, merasa malu. Ia kembali terdiam, menggenggam pena di tangannya sambil menunggu guru masuk.)
..........
Tiba-tiba, pintu kelas terbuka. Seorang guru melangkah masuk dengan tenang. Seketika, suasana kelas mulai hening. Cherry, ketua kelas yang dikenal sebagai siswa populer dan berprestasi, segera berdiri dari tempat duduknya. Dengan suara lantang dan penuh wibawa, ia memberikan salam kepada guru.

Cherry: “Selamat pagi, Bu Yati !”

Serempak, seluruh siswa mengikuti, mengulang salam dengan kompak.

Siswa-siswa: “Selamat pagi, Bu Yati!”

Bu Yati tersenyum dan mengangguk, menghargai disiplin yang ditunjukkan oleh Cherry dan teman sekelasnya.

Guru: “Pagi anak-anak. Silakan duduk.”

Cherry kembali duduk dengan anggun, sementara teman-temannya mulai membuka buku dan bersiap untuk pelajaran. Sebagai ketua kelas, Cherry selalu terlihat percaya diri dan dihormati, meskipun di balik sikapnya yang sempurna, ada sisi lain yang mungkin tidak diketahui oleh semua orang.

(Bu Yati berdiri di depan kelas, menatap semua siswa dengan serius.)

Bu Yati: Saya perhatikan ada siswa yang kurang aktif di kegiatan kelas. Bu Yati terdiam beberapa detik...
Anggelaw, kamu harus lebih sering ikut serta dalam kegiatan. Ini penting supaya kamu bisa lebih berprestasi.

(Semua mata langsung tertuju pada Anggelaw. Ia menundukkan kepala, merasa malu.)

Anggelaw: (pelan) Baik, Bu...

(Chery dan teman-temannya saling lirik dan tersenyum mengejek.)

Chery: (berbisik ke Jessika) Emang dia bisa sih ikut kegiatan?

Jessika: (tertawa kecil) Pasti bakal canggung banget.

(Anggelaw merasa semakin minder, tapi dalam hati ia ingin mencoba.)

Caca: Dia mau ikut beneran?? Gimana kalau dia cuma bikin malu aja?

Chery: Mungkin dia bakal berhenti sebelum mulai.

(Tiba-tiba Bu Yati mendekati Anggelaw.)

Bu Yati : Anggelaw, ayo ikut kegiatan kelas ekstrakurikuler. Kamu harus lebih percaya diri.

(Anggelaw mengangguk pelan meskipun merasa canggung. Semua siswa siswi lain masih meliriknya dengan aneh.

(Bu Yati masih berdiri di depan kelas, memegang daftar ekstrakurikuler, sementara para siswa masih duduk di kursinya untuk memilih kegiatan ekstrakurikuler dan meminta konsultasi)

Bu Yati: "Baik, anak-anak. Minggu ini kalian harus memilih ekstrakurikuler yang akan diikuti. Setiap siswa wajib ikut minimal satu kegiatan."

(Anggelaw yang duduk di barisan belakang, bersandar di kursi dengan malas, mendesah pelan. Ia menunduk, memperhatikan kaos kakinya yang kendor, sepatunya yang penuh goresan, dan baju tanpa pin di kerah.)

Bu Yati: "Anggelaw, kamu sudah memutuskan akan ikut ekskul apa?"

Anggelaw: (terkejut, gugup sebentar, lalu menggaruk kepala) "Umm... Saya nggak tahu, Bu..."

Bu Yati: (tersenyum sabar) "Kamu bisa coba klub seni, olahraga, atau mungkin jurnalistik? Bisa jadi kesempatan bagus buat bersosialisasi."

(Mendengar kata "bersosialisasi", Anggelaw menelan ludah. Dia bukan orang yang mudah akrab dengan teman-temannya, apalagi sejak sering jadi bahan perhatian gara-gara atribut sekolah yang kurang lengkap.)

Anggelaw: (pelan, hampir berbisik) "Hmm saya harus..."

(Beberapa siswa di kelas tertawa kecil, berbisik-bisik. Salah satu dari mereka, Daniel mengeluarkan komentar sinis.)

Daniel : "Boro-boro ikut ekskul, Bu. Pin di kerah aja nggak pernah inget dipasang!"

(Sontak satu kelas tertawa. Anggelaw menunduk, wajahnya semakin panas. Rasanya makin nggak pantas ada di sekolah ini. Sepatunya yang rusak, kaos kaki yang turun, semua jadi makin terasa mengganggu.)

Bu Yati: (melihat ke arah Daniel, menegur dengan tegas) "Daniel, cukup. Setiap orang punya tantangannya sendiri." (Kembali menatap Anggelaw dengan lembut.) "Anggelaw, bagaimana kalau kita coba satu ekskul dulu? Mungkin kamu bisa ikut klub menulis. Kamu suka menulis, kan?"

(Anggelaw ragu-ragu, tapi melihat tatapan tulus Bu Yati, ia mengangguk pelan. Dalam hati, ia tahu bahwa ia harus mencoba. Tapi bisakah ia benar-benar merasa cocok di sekolah ini.

Jesika: "Serius, Bu? Klub menulis? Dia nggak punya gaya buat jadi penulis sukses."

Caca: "Iya, Bu. Sekolah ini kan buat yang berprestasi dan punya koneksi. Kayaknya dia nggak cukup cocok buat itu."

Bu Yati: (Menatap mereka tegas) "Semua siswa di sini punya hak yang sama untuk berkembang. Prestasi tidak hanya diukur dari kecantikan atau koneksi."

(Chery dan teman-temannya saling pandang, lalu berbisik-bisik. Anggelaw menunduk, lalu mengangguk pelan.)

(Bu Yati tersenyum dan menepuk bahu Anggelaw dengan lembut.)

(Sementara itu, Chery, Jesika, dan Caca berbicara dan tertawa di barisan depan.)

Chery: (Berbisik ke Jesika) "Lihat deh, si Anggelaw itu. Kenapa sih dia selalu sendirian? Kayak nggak punya teman gitu."

Jesika: "Ya iyalah, siapa juga yang mau temenan sama dia? Misterius banget sih."

Caca: "Iya, dan kayaknya dia nggak cocok deh di sekolah ini. Liat dong kita, cantik dan berprestasi, jelas beda kelas."

(Anggelaw mendengar percakapan mereka, tapi ia hanya diam dan tetap fokus pada buku catatannya.)

(Perut Anggelaw keroncongan, tapi ia mencoba mengabaikannya. Ia menunduk, fokus pada buku pelajarannya, berusaha memahami materi tanpa suara. Ia tahu, kalau ia kehilangan fokus, tidak ada yang akan membantunya mengejar ketertinggalan.)

(Di sekelilingnya, kelas ramai seperti biasa. Bukan membahas pelajaran, tapi hal-hal yang terasa jauh dari hidupnya.)

Siswa 1 (tertawa, bersemangat): "Kemarin les gue seru banget, diajarin langsung sama tutor dari luar negeri! Kalian harus coba deh."

Siswa 2 (mengangguk, bangga): "Iya, les di tempat gue juga keren. Sehari bisa dapet tiga mata pelajaran, jadi makin jago!"

Siswa 3 (tertawa kecil, melirik Anggelaw): "Tapi ada juga yang nggak pernah les, ya. Gimana bisa ngerti pelajaran tanpa les?"

(Beberapa siswa tertawa. Anggelaw tetap diam. Ia sudah terbiasa.)

Siswa 4 (menyeringai, sengaja berkata keras): "Makanya, kalau mau pinter tuh les! Bukan cuma duduk diem aja di kelas."

Siswa 5 (menimpali dengan nada meremehkan): "Iya, tapi les kan mahal. Ya nggak semua orang bisa, kan?"

(Anggelaw menggenggam pensilnya erat. Ia tahu kata-kata itu ditujukan padanya. Ia tahu mereka menganggapnya bodoh hanya karena ia tidak bisa les seperti mereka.)

(Tapi apa yang bisa ia katakan? Bahwa uangnya hanya cukup untuk makan dan ongkos pulang? Bahwa ia ingin les, tapi bahkan meminta tambahan uang untuk makan saja terasa berat?)

(Ia memilih diam. Tidak membalas. Tidak membela diri. Karena percuma. Karena di dunia mereka, ia tidak pernah termasuk.)

(Bel istirahat berbunyi. Satu per satu, teman-teman sekelas Anggelaw beranjak dari kursi mereka dengan antusias. Mereka sibuk membahas mau makan di kantin mana, beberapa bahkan menyebut restoran di luar sekolah. Sementara itu, Anggelaw tetap duduk, menatap meja sambil berpikir.)

Anggelaw (membatin, merogoh dompetnya dan menghitung sisa uangnya): "Uang yang dikasih Wanda 35ribu. Kepake 5rb buat berangkat dan harus sisain 5ribu lagi buat pulang. Berarti, gue cuma bisa makan sesuatu yang murah."

(Ia melihat teman-temannya pergi ke kantin yang lebih besar dan lebih mewah. Mereka memesan nasi dengan lauk beragam, jus segar, dan camilan tambahan. Tanpa berpikir panjang, Anggelaw memilih pergi ke kantin paling ujung—yang lebih sederhana, lebih sepi.)

(Begitu sampai, ia melihat menu yang tertempel di dinding. Pandangannya tertuju pada satu pilihan: mie rebus pakai telur dan kornet. Harganya 18 ribu.)

Anggelaw (membatin, mengangguk kecil): "Oke, ini masih masuk budget."

(Saat ia hendak memesan, suara tawa terdengar dari meja lain. Sekelompok siswa yang duduk tak jauh darinya melirik dengan ekspresi sinis.)

Siswa 1 (berbisik ke temannya, tapi cukup keras untuk didengar Anggelaw): "Seriusan makan di sini? Pantesan aja…"

Siswa 2 (tertawa kecil): "Duh, kasian banget. Kantin lain mahal, ya?"

(Anggelaw mendengar semuanya, tapi ia berpura-pura tidak peduli. Ia tetap memesan makanannya, membayar dengan hati-hati, lalu membawa mangkuk mie ke meja kosong di sudut.)

(Saat mulai makan, ia merasakan tatapan mereka masih menusuk. Tapi, ia menunduk, mengaduk mie-nya perlahan, berusaha menikmati makanan yang ada.)

Anggelaw (membatin, mencoba menghibur diri sendiri): "Mie ini tetap enak, kok. Dan yang penting gue bisa makan."

(Uap panas mengepul dari mangkuk di depan Anggelaw. Ia meniup pelan mie rebusnya sebelum mengambil suapan pertama. Hangat. Gurih. Setidaknya, ini cukup untuk mengganjal perutnya sampai nanti sore.)

(Namun, bahkan sebelum mie itu benar-benar turun ke tenggorokannya, ia mulai merasakan tatapan menusuk dari berbagai sudut kantin.)

Siswa 1 (berbisik, tapi cukup keras untuk didengar): "Masa makan Indomie di sekolah segini mahal? Kesian banget, ya?"

Siswa 2 (tertawa pelan, berbisik ke temannya): "Makanya, belajar yang bener biar nggak jadi orang bodoh kayak dia."

(Anggelaw merasakan panas di pipinya. Bukan dari uap mie, tapi dari rasa malu yang mulai menjalar. Ia tahu mereka memandangnya rendah. Seolah-olah, memilih makan mie rebus adalah bukti kebodohan dan kemiskinan.)

(Tapi ia tidak bisa membalas. Tidak bisa membela diri. Apa yang harus ia katakan? Bahwa uangnya memang terbatas? Bahwa ia memang tidak sepintar mereka? Itu hanya akan membuatnya terlihat lebih lemah.)

(Ia menunduk, fokus pada mie di hadapannya. Telinganya menangkap tawa-tawa kecil di sekitar, tapi ia mencoba mengabaikannya.)

(Bel masuk berbunyi. Satu per satu siswa kembali ke kelas, masih sibuk mengobrol. Anggelaw duduk di bangkunya, menghela napas. Ia berharap waktu berjalan lebih cepat agar ia bisa segera pulang.)

(Di sekelilingnya, teman-temannya masih asyik membicarakan banyak hal—hal yang jauh dari kehidupannya.)

Siswa 1 (dengan antusias): "Gue sih sekarang pake BBM ONYX 2. Lo masih pake yang seri lama, ya?"

Siswa 2 (tertawa kecil): "Gue lagi minta bokap yg seri lipat. Masa handphone jadul terus?"

Siswa 3 (mengangkat dagu, bangga): "Nanti pulang gue dijemput pakai Alphard. Terus langsung ke mall, nyari baju buat liburan ke Bali."

Siswa 4 (tertawa, menimpali): "Gue sih ke Singapur! Lo ke mana, Cherry?"

Cherry (menyeringai, santai): "Gue? Ke Jepang lah, jelas!"

(Anggelaw diam. Ia menunduk, mengusap layar handphone-nya yang sudah mulai usang. Tidak ada yang bertanya padanya. Tidak ada yang peduli ke mana ia akan pulang—karena jawabannya sederhana: naik angkot, sendirian, langsung ke rumah.)

(Siang sampai sore, kelas Biologi dimulai dengan suasana yang biasa saja. Bu Yati, guru Biologi, berdiri di depan kelas dengan ekspresi tegasnya, mengumumkan pembagian kelompok untuk tugas hari ini.)

Bu Yati (menatap daftar di tangannya): "Baik, untuk diskusi kali ini, saya sudah membagi tim. Anggelaw, kamu masuk kelompok Cherry, Jesika, dan Caca."

(Anggelaw menahan napas sejenak. Ia sudah bisa menebak bagaimana ini akan berjalan. Tapi sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, Bu Yati melanjutkan.)

Bu Yati (menatap Cherry dengan serius): "Cherry, saya minta kamu bantu Anggelaw, ya. Pastikan dia bisa mengikuti materi dengan baik."

Cherry (tersenyum tipis, nada suaranya datar): "Iya, Bu."

(Tapi Anggelaw tahu, itu hanya jawaban formal. Ia tidak terlalu berharap.)

(Cherry dan Jesika sibuk menyiapkan presentasi kelompok tanpa meminta pendapatnya. Ketika Anggelaw mencoba menyela, mereka hanya mengabaikannya. Saat akhirnya tugas mereka selesai dan siap untuk dikumpulkan, Cherry menatap Anggelaw.)

Cherry (datar, tanpa ekspresi): "Udah, nanti lo duduk aja pas presentasi. Biar kita yang jelasin."

(Anggelaw menatap mereka, ingin protes, tapi akhirnya mengangguk pelan. Percuma. Tidak ada gunanya.)

(Ketika kelas selesai, ia menghela napas panjang. Ia memang ada di kelompok ini, tapi rasanya seperti bayangan. Tidak dilihat, tidak didengar.)

(Presentasi selesai. Cherry, Jesika, dan Caca berjalan kembali ke bangku mereka dengan senyum puas. Anggelaw tetap duduk di kursinya, diam. Seperti yang ia duga, namanya tidak disebut sekali pun selama presentasi. Ia tidak dianggap. Tidak ada yang peduli dengan kontribusinya.)

(Ia melirik jam di dinding. Baru jam 1 siang. Masih tiga jam lagi sebelum pulang. Tapi ia sudah ingin keluar dari sini. Ingin menghilang.)

(Bu Yati melintas di dekat mejanya dan berbisik singkat.)

Bu Yati (lembut, tapi tajam): "Saya lihat kamu sudah berusaha, Anggelaw. Jangan menyerah."

(Anggelaw tersenyum kecil. Setidaknya, ada satu orang yang menyadari usahanya, meskipun itu tidak cukup untuk mengubah keadaan.)
---
Jam 4 Sore – Waktunya Pulang

(Begitu bel pulang berbunyi, kelas langsung riuh. Semua sibuk merapikan barang mereka, mengeluarkan ponsel, dan menelepon orang tua masing-masing.)

Siswa 1 (tersenyum, berbicara di telepon): "Mama, jemput aku sekarang ya. Iya, yang pake BMW."

Siswa 2 (tertawa kecil, menoleh ke temannya): "Gue pulang naik Alphard hari ini, soalnya Fortuner gue lagi dipake Papa."

Siswa 3 (mengayun-ayunkan kunci mobil di jarinya, bangga): "Gue sih enak, bawa mobil sendiri."

(Anggelaw menunduk, memasukkan bukunya ke dalam tas. Tidak ada yang perlu ia telepon. Tidak ada mobil yang menunggunya di gerbang. Seperti biasa, ia akan berjalan keluar sendirian dan naik angkot.)

(Saat ia melangkah keluar dari kelas, ia mulai merasakan tatapan itu. Sinis. Merendahkan.)

Siswa 4 (berbisik, tapi sengaja agar terdengar): "Tuh, si Anggelaw. Pulang naik angkot lagi."

Siswa 5 (tertawa kecil, menimpali): "Kapan-kapan gue kasih receh deh, kasian banget hidupnya."

(Tawa meledak di belakangnya. Anggelaw menggigit bibirnya, berusaha tetap berjalan tanpa menoleh.)

(Di koridor, bisikan masih mengikuti langkahnya.)

Siswa 6 (dengan suara dibuat-buat prihatin): "Dia pasti capek ya, harus desek-desekan di angkot."

Siswa 7 (tertawa mengejek): "Iya, mending jalan kaki sekalian!"

(Anggelaw menarik napas dalam-dalam. Kakinya terus melangkah, keluar dari gerbang sekolah. Di sana, barisan mobil mewah berjajar, menunggu para siswa.)

(Ia melihat teman-temannya masuk ke dalam mobil ber-AC, duduk nyaman tanpa harus mengkhawatirkan ongkos. Sementara itu, ia berjalan ke halte kecil di depan sekolah, menunggu angkot dengan uang yang harus dihitung hati-hati agar cukup sampai rumah.)

(Saat angkot berhenti, ia naik tanpa menoleh lagi ke belakang. Biarlah. Mereka boleh menertawakannya. Mereka boleh memandangnya rendah. Yang penting, ia bisa pulang.)

(Anggelaw duduk di dalam angkot, kepalanya bersandar ke jendela yang dingin. Jalanan macet, tapi bukan itu yang membuat dadanya terasa berat. Ia malas pulang. Rumah bukan tempat yang nyaman. Rumah hanyalah tempat ia harus kembali, bukan tempat ia ingin berada.)

(Tapi tetap saja, ia harus pulang.)

---
Di Rumah Wanda
(Begitu turun dari angkot, ia berjalan menuju toko sembako yang juga bagian dari rumah Wanda. Dari kejauhan, ia melihat Wanda duduk di kursi plastik di depan toko, wajahnya terlihat lelah.)

Wanda (melirik sekilas, suaranya ketus): "Lama amat pulangnya."

Anggelaw (menunduk, pelan): "Habis sekolah langsung pulang, kok."

(Wanda berdiri, meregangkan tubuhnya yang pegal. Ia tampak sangat capek, dan itu artinya…)

Wanda (menghela napas, lalu menunjuk ke dalam toko): "Gue mau tidur. Lo jaga toko."

(Tanpa menunggu jawaban, Wanda sudah berjalan masuk ke dalam rumah. Tak ada tanya bagaimana hari Anggelaw, tak ada kepedulian. Hanya perintah.)

(Anggelaw menghela napas, masuk ke kamar kecilnya untuk berganti baju. Setelah itu, ia kembali ke depan, duduk di bangku toko, memperhatikan rak-rak yang dipenuhi beras, minyak, dan kebutuhan pokok lainnya.)

(Matanya melirik ke dalam tas sekolahnya. Ada PR yang harus dikerjakan. Tapi bagaimana? Ia harus jaga toko, memastikan barang tidak hilang, dan melayani pembeli.)

(Ia membuka bukunya, mencoba membaca soal matematika yang harus ia kerjakan. Tapi baru saja ia mulai berpikir, seorang ibu datang ke toko.)

Ibu Pembeli (dengan cepat): "Dek, beli gula dua kilo sama minyak satu liter."

Anggelaw (mengangguk cepat, bangkit dari kursinya): "Iya, Bu, sebentar."

(Ia mengambil barang yang diminta, memberikan kepada si ibu, dan menerima uangnya. Setelah ibu itu pergi, Anggelaw kembali menatap PR-nya. Baru satu soal, dan sudah terdistraksi. Ini pasti akan lama.)

(Dari dalam rumah, suara dengkuran pelan terdengar. Wanda sudah tidur. Sementara Anggelaw? Ia masih harus bertahan, berjaga di toko, dan mencari celah untuk menyelesaikan tugasnya.)

(Sekali lagi, ia merasa sendirian. Tapi seperti biasa, ia tidak punya pilihan selain bertahan.)
 
Back
Top